BERBICARA
(Drs. H. AHMAD FANANI, M.H*)
Berbicara termasuk bagian dari komunikasi. Setiap hari pasti manusia berkomunikasi melalui pembicaraan. Ada yang menyebutkan 75 % waktu manusia setiap harinya untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Ada juga yang menyebutkan bahwa manusia terutama perempuan dalam satu hari satu malam mampu mengeluarkan sebanyak 20.000 kata untuk berkomunikasi. Terlepas dari benar tidaknya pernyataan tersebut yang jelas tidak terhitung lagi banyaknya manusia mengeluarkan kata-kata setiap harinya.
Kumonikasi yang paling dasar dan paling erat di antara manusia adalah berbicara. Menyampaikan gagasan, keinginan maupun pesan agar orang lain melakukan tindakan. Berbicara adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Manusia sejak menjadi bayi sudah perlu berbicara. Tangisan bayi sebagai bentuk dari komunikasinya membicarakan sesuatu. Menangis sebagai ekspresi menandakan dirinya telah hadir sebagai manusia yang dikehendaki oleh orang-orang yang menantinya. Suara yang dikeluarkan dalam lengkingan tangis menjadi pertanda bahwa bayi tersebut memiliki potensi kemampuan berbicara.
Seiring perkembangan umur dan fisik, berubahlah menjadi suara-suara yang bermakna. Bantuan orang-orang di sekelilingnya, kemampuan bersuara dilatih dari hanya bentuk rengekan secara perlahan menjadi bunyi vokal-vokal yang bermakna. Secara bertahap menguasai bunyi-bunyi vokal yang tidak jelas menjadi jelas, meningkat dalam penguasaan kata dan kalimat. Semakin hari menunjukkan kejelasan makna. Saat itulah orang-orang di sekelilingnya mengatakan bahwa sang bayi telah mulai bisa berbicara. Kemampuan berbicara akan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan waktu dan lingkungan.
Manusia berbeda karakter berbeda pula gaya berbicaranya. Banyak yang suka berbicara dan ada pula yang pendiam. Masing masing mempunyai kekurangan dan kelebihannya. Banyak bicara biasanya plong pikiran dan menghadapi kehidupan tanpa beban. Namun kekurangannya apabila banyak bicaranya banyak pula kemungkinan salahnya. Sementara orang pendiam atau tidak banyak bicara biasanya cendrung pendendam atau bahkan sering mengalami depresi. Kelebihan dari sedikit bicara, sedikit pula kemungkinan salah dalam pembicaraan.
Bagaimanapun profesi dan ststus sosial, seseorang harus pandai berbicara. Guru ketika menyampaikan ilmu kepada muridnya dengan cara berbicara. Pedagang mempromosikan barang dagangan kepada pembeli dengan cara berbicara. Pejabat menjelaskan program kerja kepada masyarakat atau bawahannya dengan cara berbicara. Suami berbicara kepada isteri atau sebaliknya. Anak berbicara kepada orang tua atau sebaliknya. Begitu seterusnya menunjukan arti peting berbicara dalam hidup ini.
Kemampuan berbicara ikut serta menghantarkan kesuksesan seseorang dalam setiap profesinya. Terbukti banyak orang berhasil dalam tugas karena kemampuannya dalam berbicara. Guru yang pandai berbicara lebih disegani siswanya. Penceramah yang lincah dalam bertutur lebih disukai jamaahnya. Marketing yang mahir mengiklankan produk bisnis akan banyak menarik perhatian konsumen. Orang tua berhasil memengaruhi anak karena kepintarannya dalam memberi nasihat.
Kepintaran seseorang berbahasa tidak terlepas juga dari kelihaian berekspresi melibatkan berbagai anggota tubuh. Secara spontan anggota tubuh ikut berperan mengekspresikan dan menegaskan makna pembicaraan. Gerakan tangan, tubuh, dan raut muka secara serempak membangun satu kesatuan ekspresi mengikuti tuturan yang keluar dari pembicara.
Berperannya raut muka, mata, hidung, bibir, alis dan gerak tubuh lainnya saat berbicara akan memiliki makna dan arti tersendiri. Gerakan anggota tersebut menyesuaikan isi pesan pembicaraan. Biasanya mata melotot bisa berarti marah, mata sayu dapat berarti sedih. Bibir, muka, dan hidung dapat memberikan makna bahwa seseorang sedang serius, sedih, maupun gembira.
Selain ekspresi tubuh saat berbicara, hal lain yang penting menjadi perhatian pembicara agar pembicaraan mendapat tanggapan positif dan simpati pendengar. Pembicara menggunakan bahasa yang tepat, menumbuhkan rasa percaya diri saat berbicara, menggunakan intonasi suara sesuai situasi percakapan dan tidak memotong pembicaraan orang lain.
Pembicara memastikan ketika berbicara dengan menggunakan tata bahasa yang benar. Hal ini penting karena akan menjadi tolok ukur kualitas pembicara. Menggunakan tata bahasa yang tepat menunjukan kepintaran dan pengalaman pembicara. Pendengar akan mengagumi pembicara yang fasih dalam berbahasa. Apalagi dalam pembicaraan mengutip ayat Al-Qur’an atau bahasa asing, mesti penyebutannya dengan benar.
Pendengar belum tentu tidak paham tata bahasa, bisa jadi dia lebih tahu tentang hal itu. Manakala pembicara salah dalam berbahasa, pendengar akan mengerti bahwa pembicara tidak menguasai pembicaraan. Misalnya keliru dalam ejaan kata, yang semestinya “e” dia sebut “a” atau mestinya “o” dia menyebutnya “u”. Kekeliruan dalam membaca ayat Al-Qur’an menggambarkan pembicara tidak belajar tajwid. Kesalahan menyebut kata asing menunjukan pembicara tidak paham kosa kata.
Dalam berbicara perlu juga pembicaranya memiliki rasa percaya diri agar tidak ada perasaan takut yang membuat grogi. Rasa takut terkadang membuat seseorang memilih diam daripada berbicara. Ada memang ungkapan : “diam itu emas”. Ungkapan ini benar tetapi bukan di sini tempatnya. Manakala perlu menyampaiakan kebenaran, maka harus melalui suara dan apabila diam tentu kebenaran tidak tersampaikan. Menambah percaya diri terlebih dahulu pebicara menguasai materi sehingga pembicaraan terarah.
Saat berbicara perlu pula memperhatikan volume suara yang sesuai dengan situasi percakapan. Turun naik suara pembicara membuat pendengar betah dan tidak bosan mendengarkan. Berbeda situasi pembicaraan berbeda pula intonasi suara. Situasi marah biasanya suara keras dan situasi senang biasanya suara rendah dan penuh homur. Jika sedang marah suara lembut kemungkinan pembiracaan tidak berwibawa. Sebaliknya jika sedang guyon dengan suara keras barangkali pendengar bukan terhibur tapi malah merasa tegang.
Pembicara yang professional mampu membawa perasaan pendengar melalui intonasi dan gaya bicaranya. Bisa mengarahkan pendengar agar sedih atau agar gembira, menangis atau tertawa. Semua tergantung keinginan pembicara. Banyak pendengar tersenyum gembira saat mendengar pembicaraan karena pembicaranya bergaya humoris. Begitu juga ada pendengar yang sedih dan sampai menagis sebab pembicaranya mampu membayangkang suatu resiko kehidupan dengan intonasi yang tepat.
Dalam etika berbicara baik pada pembicaraan formal maupun non formal, tidak diperkenankan memotong pembicaraan orang lain. Selain menggangu kunsentrasi, memotong pembicaraan orang sama dengan tidak menghormati orang lain. In Masing-masing punya hak untuk berbicara. Kalau ingin ikut berbicara tuntaskan saja dulu orang lain berbicara atau kalau terpaksa harus memotong sangat etis untuk permisi terlebih dahulu.
Berbicara yang baik agar pembicaraan mendapat respon dari pendengar, patut memperhatikan teknik dan etika berbicara. Namun tidak kalah pentingnya pembicaraan berisi kebenaran sehingga pembicara termasuk penyebar kebenaran dan bisa mempertanggung jawabkan pembicaraannya. Al-Qur’an telah mengingatkan hal ini. “Maa yalfizhu min qaulin illa ladaihi raqiibun atiid" Apa saja yang dituturkan seseorang berupa pembicaraan, kecuali semuanya terpantau oleh malaikat Raqib dan Atid. “Semoga ucapan kita selalu benar dan mengajak kepada kebenaran”.
*Wakil Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Kediri